27 April 2012

#KaryaCL : Perfect

Images by :  nandamegumi

I try not to think about the pain i feel inside
Did you know you used to be my hero
All the days you spent with me now seem so far away
And it feels like you dont care anymore

And now I try hard to make it
I just wanna make you proud
I’m never gonna be good enough for you
cant stand another fight
and nothings alright

Sedih. Sedih banget kalau misalnya seseorang harus kehilangan orang yang disayangi di dalam keluarga. Apalagi kalau ketika dia masih ada, kita belum pernah sekalipun membanggakan dia. Belum pernah sekalipun menjadi kebanggaannya. Dan juga banyak banget kenangan yang udah dia beri selama dia masih ada di sisi kita. Bahkan terkadang rasa sayang itu bisa menjadikan apa saja yang kita lihat, menjadi hal yang menyedihkan. Menjadi hal yang harus ditangisi, karena harus kembali mengingat kenangan – kenangan yang tidak akan pernah kembali lagi seperti dulu. Tapi, bagaimanapun juga, setelah orang itu pergi dan membuat kita sangat kehilangan, kita tidak pernah bisa ngapa – ngapain lagi. Kita tidak bisa membuat orang itu kembali lagi.
Aku sudah lulus sekolah. Tapi, aku sama sekali tidak ingin melanjutkan kuliah karena aku sudah tidak mempunyai semangat lagi untuk melakukan itu. Sejak lulus sekolah, aku hanya mengikuti banyak lomba sebanyak mungkin dan juga pergi bekerja di sebuah kafe untuk menjadi penghibur. Hanya bakat menyanyi dan bermain gitarku serta membantu Bunda di rumah yang bisa kulakukan untuk mengisi hari – hariku. Dan tak lupa, setelah aku pulang bekerja ketika sore tiba, aku selalu menyempatkan diri untuk pergi menyapa Ayahku yang sangat kusayangi, tapi aku rasa aku tidak pernah bisa menjadi kebanggaannya. Sampai hari itu tiba....
“Yah, inget nggak? Dulu Cakka bandel banget sama Ayah. Nggak pernah mengerti Ayah. Cakka banyak banget minta ini, minta itu. Padahal, Cakka belajar di sekolah dengan baik aja nggak. Cakka selalu aja main gitar dan menyanyi di rumah, tanpa memperdulikan tugas sekolah. Terus, kalo Ayah udah marah, Cakka kadang – kadang malah ngeledek. Maafin Cakka ya, Yah. Cakka baru sadar waktu Cakka masuk SMA. Cuma tiga tahun menjalani hidup yang indah bersama Ayah, rasanya sakit banget, Yah.” kataku di depan sebuah batu nisan yang selalu membuatku meneteskan air mataku. Batu nisan itu menyimpan sejuta kenangan yang tidak ingin aku tinggalkan. Batu nisan itu menyimpan sejuta kenangan yang tidak ingin aku lupakan. Batu nisan itu menyimpan sejuta kenangan yang tidak ingin aku kuburkan.
“Ayah baik – baik yah di sini.. Cakka tahu kok, Cakka sudah terlambat. Ayah sekarang tidak akan bisa menjawab Cakka lagi. Dulu Ayah begitu menyayangi Cakka, tapi Cakka udah kayak anak nggak tahu balas budi. Banyak hal, banyak hal yang ingin Cakka sampaikan buat Ayah, tapi Cakka nggak pernah menyampaikan itu. Sampai yang terpenting, bahwa Cakka sayang sama Ayah, Cakka tidak pernah mengucapkan itu kan, Yah?” kataku lagi sambil berdiri dan menatap batu nisan itu sebelum akhirnya aku pergi berjalan menjauh dari makam itu, menggantungkan gitarku di punggungku dan berjalan menuju rumah. Ini sudah sore, Bunda pasti mencariku.

Ketika aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku sudah kehilangan sebuah kebahagiaan yang seharusnya kudapatkan sejak kecil, hati serasa seperti terpecahkan berkeping – keping. Kehidupan itu sebenarnya simple, tapi aku saja yang terlalu bodoh untuk membuat hidup ini sulit karena sikapku yang begitu ingin dilayani. Sejak kecil aku sudah manja. Dan ngambekan. Banyak hal yang sudah membuat orang tuaku susah mendidikku. Tapi aku tidak pernah menyadari bagaimana susahnya mereka membesarkanku sampai aku lulus sekolah seperti ini. Apalagi Bunda, yang sudah mengandungku selama 9 bulan dan melahirkanku dengan susah payah, sampai bertaruh nyawa. Dan masih banyak hal yang seharusnya kumengerti sejak kecil. Setelah Ayah pergi, aku baru mengerti, apa arti sebuah kasih sayang. Apa arti sebuah perhatian. Apa arti sebuah perjuangan yang sudah orang tuaku lakukan hanya untukku. Tapi, apa dayaku sekarang jika Ayah sudah pergi. Sebuah kata ‘maaf’ yang kuucapkan berkali – kalipun tidak akan berguna.

30 Maret 2009
Cakka Kawekas Nuraga

Tulisan itu adalah tulisanku yang entah dari mana aku dapat idenya. Padahal aku tidak pernah menulis diari seperti itu. Tapi, sejak Ayah pergi, karena aku ingin melampiaskan semuanya pada buku itu, aku menuliskannya. Dan sejak itu, aku selalu menuliskan apa yang kurasakan di buku itu, ketika aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata – kata yang kuucapkan. Bunda juga tahu soal hal ini.
“Bunda, menurut Bunda, Cakka ini jahat nggak?” tanyaku ketika aku membantu Bunda mengangkat baju dari jemuran. Ini memang pekerjaan perempuan, tapi aku tidak perduli. Yang penting aku bisa membantu Bunda. Untuk menebus kesalahanku selama 9 tahun waktu aku masih kecil, sebelum aku masuk SMA.
“Cakka ngomong apa sih? Kok tiba – tiba bilang begitu? Mana mungkin Bunda nganggep Cakka jahat. Cakka kan anak Bunda. Anak Bunda itu baik semua. Elang juga baik. Semuanya berbakti sama orang tua.” kata Bunda sambil tersenyum dan mengangkat baju dan memberikannya padaku supaya aku meletakkannya di keranjang untuk dibawa masuk dan diseterika nanti.
Elang adalah kakak laki – lakiku satu – satunya. Dia sudah tamat kuliah dan kerja di bidang musik karena dia sudah mempunyai band sendiri dengan teman – temannya. Dia sangat baik padaku, bahkan sejak aku SD. Biasanya aku memanggilnya Mas Elang atau MasEL. MasEL sangat dibanggakan oleh Bunda dan Ayah sejak dulu karena dia sangat baik terhadap semuanya dan selalu mendapat juara kelas. Tidak sepertiku yang malas belajar sampai aku SMA.
“Cakka... berbakti sama orang tua? Sama Bunda? Sama Ayah juga?” tanya Cakka kaget mendengar ucapan Bunda.
“Iya. Cakka itu baik sama Bunda, Cakka baik sama Ayah. Cakka kan selalu membantu Bunda dan Ayah juga sejak dulu.” kata Bunda lagi. “Lagian mana ada sih yang mau bilang anaknya itu jahat. Di dunia ini nggak ada yang namanya orang jahat loh, Kka. Orang yang melakukan kriminal kan pasti ada alesannya. Bukan karena dia jahat.”
“Tapi, Cakka nggak pernah bikin Ayah bangga sama Cakka...” kataku sambil menunduk.
“Itu nggak jadi masalah, Cakka. Bunda sama Ayah kan nggak nuntut Cakka supaya Cakka bikin Ayah sama Bunda bangga. Yang penting Cakka kerja yang baik, bantu Bunda di rumah. Itu aja udah cukup kok bikin Bunda sama Ayah seneng.”
“Terus gimana dengan janji Cakka? Bunda masih inget, kan? Bunda pernah janji sama Ayah kalau Cakka bakal banggain Ayah lewat bakat musik Cakka. Tapi, apa? Cakka nggak pernah nepatin, kan? Cakka ingkar janji sama Ayah.. Sekarang apa? Ayah udah pergi. dan aku? Aku bisanya cuma nangis, nangis, nangis dan nangis di depan makam Ayah. Cuma bisa bicara sendiri sama makam Ayah. Cakka marah sama diri Cakka sendiri, Bunda...” jawabku dengan penuh penyesalan dan marah terhadap diri sendiri.
“Udah, Cakka nggak usah marah sama diri sendiri. Sekarang yang penting Cakka jadi anak yang baik aja. Sebenarnya dengan kamu banyak memenangkan lomba sampe lemari piala kamu penuh itu udah cukup loh Kka, tapi kalau kamu mau bener – bener membuat Ayah bangga dengan bakat kamu, kamu bisa lihat brosur yang Bunda terima tadi pagi waktu kamu pergi kerja di meja makan. Mungkin itu bisa membantu kamu buat banggain Ayah walaupun cuma sekali. Banggakan Ayah dengan cara yang berbeda dari yang sebelumnya.” kata Bunda sambil membawa keranjang penuh baju yang akan disetrika nanti ke dalam rumah. Sementara aku mengikuti Bunda sampai kita berpisah di tangga. Bunda pergi membawa ke atas keranjangnya dan aku pergi menuju meja makan dan mengambil brosur yang dimaksud Bunda. Aku baca baik – baik brosur itu. Ternyata sebuah lomba menyanyi yang diadakan lusa. Aku jadi teringat dengan kata – kata Bunda tadi. Banggakan Ayah dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Sepertinya aku mengerti maksud Bunda. Aku bisa mengikuti lomba ini, untuk Ayah. Biasanya aku menyanyikan lagu yang asal saja aku pilih. Tapi, kali ini aku bisa menyanyikan lagu untuk Ayah yang ada di atas sana. Mumpung pendaftarannya gratis nih.
“Bunda, Cakka pergi dulu ya! Mau daftar lomba!” seru Cakka dengan keras.
“Iya, hati – hati!” jawab Bunda dari lantai atas.
Aku langsung pergi ke tempat pendaftaran lomba itu yang tak jauh dari sana. Di dekat sana sudah ada panggung yang tampaknya akan dipakai lusa saat lomba. Panggung itu cukup megah. Di sana sudah ada banyak alat musik yang disiapkan untuk lombanya. Dan di depan panggung itu banyak kursi yang dijejerkan untuk penonton. Kalau dilihat – lihat, sepertinya ada sekitar enam baris kursi. Aku tambah semangat saja mengikuti lomba ini.
Aku langsung menghampiri meja pendaftaran. “Mbak, aku daftar lomba musiknya ya.”
“Oh iya, silahkan tulis nama disini, ini nomor pesertamu. Jangan lupa lusa datang ya.” kata penjaga meja pendaftaran itu menyodorkan sebuah nomor peserta yang biasanya ditempelkan di baju ketika lomba berlangsung. Aku langsung menulis namaku di kertas pendaftaran, mengambil nomor peserta yang disodorkan itu dan langsung pulang ke rumah. Aku langsung mengambil dan memangku gitar hitamku sambil duduk santai di sofa dan berlatih dengan giat di rumah. Aku sudah tahu persis lagu apa yang akan kunyanyikan untuk Ayah. Sementara Bunda yang melihat dari kamarnya hanya tersenyum kecil menatapku yang sedang berlatih.

Ketika hari perlombaan tiba, aku sudah datang setengah jam sebelum acara dimulai supaya Bunda dan Mas Elang mendapatkan tempat duduk yang bagus untuk melihatku beraksi di atas panggung karena kemarin di kertas pendaftaran aku lihat cukup banyak juga yang ikut perlombaan ini. Aku takut kalau datang ngepas, kursinya sudah penuh. Lagipula, aku bisa menghabiskan waktu setengah jam itu untuk berlatih.
Good luck ya dek...” kata Mas Elang sebelum kompetisi dimulai.
Aku tersenyum ketika Mas Elang mengucapkan hal itu.
Ketika perlombaan dimulai dan giliranku tiba, aku benar – benar menunjukkan pertunjukan yang sangat bagus. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk perlombaan ini karena perlombaan ini bukan hanya perlombaan biasa yang aku ikuti seperti biasanya. Perlombaan ini aku persembahkan untuk Ayahku yang ada di atas sana.
“Selamat siang teman – teman semua yang hadir disini, namaku Cakka. Sebelum aku mulai, aku ingin kalian semua tau, kalau perlombaan ini aku persembahkan untuk Ayahku yang sudah dipanggil Allah beberapa bulan yang lalu akibat kecelakaan yang menyebabkan luka parah di kepalanya. Selama Ayah masih hidup, aku merasa sangat bandel dan tidak baik kepada Ayah dan Bunda. Dan aku juga sudah pernah berjanji pada Ayah ketika aku masih kelas 6 SD, bahwa aku akan membuat Ayah bangga dengan bakat musikku. Tapi, sampai sekarang, sampai detik Ayah sudah tiada, aku belum bisa menepati janji itu. Dan hari ini, aku akan menepatinya. Aku berharap Ayah bisa melihat dari atas sana....”
Setelah aku selesai berbicara, aku langsung memetik gitarku pelan – pelan, dengan penuh perasaan dan langsung memulai lagu dengan penuh penghayatan.

Hey, dad look at me think back and talk to me
Did I grow up according to plan
And do you think I’m wasting my time doin’ things I wanna do
But it hurts when you disapprove all along

And now I try hard to make it
I just wanna make you proud
I’m never gonna be good enough for you
cant pretend that im alright
and you cant change me

Cause you lost it all
Nothin lasts forever
Im sorry, I can’t be perfect
Now it’s just too late
And we cant go back
I’m sorry, I can’t be perfect

I try not to think about the pain I feel inside
Did you know you used to be my hero
All the days you spent with me now seem so far away
And it feels like you dont care anymore

And now I try hard to make it
I just wanna make you proud
Im never gonna be good enough for you
cant stand another fight
and nothings alright

Cause we lost it all nothing lasts forever
I’m sorry, I can’t be perfect
Now it’s just too late and we can’t go back
I’m sorry, I cant be perfect

Nothings gonna change the things that you said
Nothings gonna make this right again
Please dont turn your back I can’t believe it’s hard just to talk to you
But you dont understand

Cause we lost it all nothing lasts forever
Im sorry, I cant be perfect
Now it’s just too late and we cant go back
Im sorry, I cant be perfect

Sebuah tepuk tangan meriah langsung terdengar ketika aku selesai bernyanyi. Aku sangat senang semua orang bisa menikmati musikku. Kali ini, rasanya rasa senangku beda dari yang sebelumnya. Sebelum – sebelumnya aku tidak pernah merasakan aku sudah menjadi orang yang lebih baik dari aku yang dulu setelah bernyanyi di sebuah kompetisi. Menjadi orang yang bisa membuat Bunda dan Ayah bangga. Saat pengumuman pemenang tiba, aku sangat tegang. Aku sampai meremas baju Bunda karena aku terlalu takut dan terlalu tegang sampai berkeringat dingin menunggu hasilnya.
“Yak, sekarang saatnya pengumuman. Dari kontestan – kontestan yang sudah tampil, kita semua tahu bahwa ada satu orang yang tampil dengan maksimal. Dan dia yang pantas menjadi pemenangnya. Dia adalah......”
Aku langsung menunduk, menutup mata dan berdoa kepada Allah. Ya Allah, apakah aku menjadi pemenang kali ini? Aku sudah berusaha keras....
“Dia adalah....... tentu saja... Cakka Kawekas Nuraga!!!” seru MC dengan gembira.
Aku langsung terlonjak senang mendengar itu. Aku langsung memeluk Bunda dan Mas Elang atas kemenanganku. Kuambil piala besarku di panggung dan mengangkat tinggi menunjukkan hasil kerja kerasku dengan bangga. Bunda dan Mas Elang yang melihat dari bawah, tampak bangga menatapku berhasil.


Kini aku sudah tidak lagi terlalu sedih dengan kepergian Ayah. Aku selalu menyakinkan diri, bahwa Ayah selalu ada di sisiku walaupun sekarang Ayah tidak tampak lagi di mataku. Aku akan selalu menyayangi Ayah. Kini setiap lomba yang kuikuti, akan kupersembahkan untuk Ayah. Aku akan membuat lagu tentang Ayah. Aku akan menjadi musisi yang hebat seperti Ayah! Aku akan wujudkan cita – citaku untuk menjadi musisi yang hebat seperti Ayah. I love you, Ayah.

2 April 2011
Cakka Kawekas Nuraga


Pengirim : Fancha (fancha.cluv@yahoo.co.id) - CL Jakarta

0 comments:

Post a Comment